Kultur Autisme di Indonesia
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Aliquam congue eleifend ante sed suscipit. Vivamus neque massa, porta in malesuada vel, mattis eu enim. Etiam nec nulla arcu. Morbi mi nisl, volutpat ut nisi condimentum, mattis luctus orci. Praesent in molestie est, ac tempus nibh. Donec hendrerit tristique dolor et tincidunt. Nullam nec diam augue. In ultrices id dolor in luctus. Ut ornare commodo nibh, eu molestie nibh lobortis aliquet. Nulla imperdiet tincidunt enim, eget efficitur nulla commodo non. Maecenas ullamcorper condimentum arcu, id vehicula quam. Aenean tortor libero, aliquam vitae mi dignissim, gravida placerat erat.
Di Indonesia, autisme merupakan
suatu gangguan perkembangan yang jarang ditelisik lebih lanjut karena berbagai
hal yang tabu dan sakral akan selalu ada dalam masyarakat umum. Padahal,
edukasi terhadap autisme di Indonesia haruslah selalu berkembang dari waktu ke
waktu seiring dengan diagnosa baru berdasarkan aturan Diagnosis and
Statistical Manual of Mental Disorders (DSM edisi 5) maupun International
Statistical Classification of Disease (ICD edisi 11) yang bisa diterima di
seluruh dunia. Aturan terhadap autisme sendiri sudah ada di Undang-Undang Republik
Indonesia no. 8 tahun 2016 tentang disabilitas mental dan perkembangan. Telah
jelas bahwa setiap hak disabilitas, termasuk autisme, memiliki kesempatan yang
sama untuk menentukan masa depan seperti sekolah maupun bidang kerja, namun
pada kenyataannya masih ada malpraktik pasien autisme yang dianggap salah
kaprah bagi kalangan umum, terutama untuk pasien autisme yang menginjakkan kearah
akademik maupun karier seperti kerja di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau
sejajar dengan P3K/ASN maupun badan swasta.
| Laman awal dari yayasan MPATI di tahun 2025. Sumber pribadi. |
Maka dari itulah, untuk menyokong
aspirasi dari pasien autisme di Indonesia, salah satunya yang pertama kali
mencetuskan paham autisme kepada masyarakat umum adalah MPATI, singkatan dari
Masyarakat Peduli Autis Indonesia. MPATI adalah sebuah yayasan non-profit yang sampai
sekarang diakui sebagai donatur resmi untuk pasien autisme di Indonesia. MPATI
didirikan pada tahun 1995 yang sebelumnya berorganisasikan sebagai KOMPAA
(Komunitas Peduli Autis dan ADHD). MPATI sepenuhnya sekarang terkenal di masyarakat
Indonesia, namun ada berbagai yayasan lainnya yang menyokong kultur autisme di
Indonesia.
Dari penulis, ada tiga yang
diketahui dan berkembang di setiap daerah. Selain Yayasan MPATI di Jakarta
Selatan, ada juga seperti Teman Autis yang didirikan pada tahun 2016, Yayasan
Sayap Ibu yang memegang peran penting dalam pengasuhan anak berkebutuhan khusus
di seluruh Indonesia, termasuk pasien autisme anak maupun dewasa, dan di Yogyakarta
dan Jawa Tengah, terdapat Yayasan Yakkum yang terbentuk dari relawan kristiani
di Gereja Kristen Jawa dan sejenisnya; bergerak di bidang anak dan individu
berkebutuhan khusus di beberapa rehabilitasi yang berpusat di Jalan Kaliurang,
Sleman maupun daerah lainnya.
| Salah satu poster dari Walk for Autism di tahun 2025 di laman Instagram @wfa.nusantara. Sumber: Instagram: wfanusantara |
Kultur autisme di Indonesia tidak
afdol untuk membahas apa saja kegiatan amal maupun apa saja yang lain. Salah
satu yang terkenal hingga sekarang yang dilakukan secara bertahun-tahun adalah
event Walk for Autism yang diselenggarakan oleh JCI Nusantara, meliputi yang
ada di Jakarta maupun Surabaya. Walk for Autism adalah event tahunan setiap
pertengahan bulan yang sangat meriah untuk menggalang dana yang nantinya diserahkan
kepada individu pasien autisme di berbagai sektor, seperti panti asuhan maupun yayasan-yayasan
terkemuka di Indonesia. Acara jalan sehat ini tentunya ramai oleh berbagai
warga, seperti orang tua dengan anak individu autisme, maupun dewasa dengan
individu autisme bisa mendaftar di acara ini. Selain Walk for Autism, di
tanggal 2 April pun berbagai flyer maupun poster dari berbagai instansi yang
membahas terkait dengan penyuluhan kepada warga terhadap autisme (autism
awareness) hingga di tanggal 30 April di setiap tahun; karena ada kegiatan
yang juga sebagai serangkaian penyadaran masyarakat terhadap autisme:
penerimaan diri terhadap diri sendiri pada autisme (autism acceptance).
| Salah satu laman reels dari Instagram @devira.safitri, semuanya dokumentasi dari anaknya, Zahra yang sedang melakukan berbagai aktivitas positif. Sumber: Instagram: devirasafitri |
Kultur autisme juga tidak kalah
semarak dengan dukungan dari pihak orang tua yang selalu mengkampanyekan
autisme pada individualnya masing-masing. Ambil contoh dua akun Instagram
dengan username @devira.safitri dan @zafarautismjourney dan masih
banyak lainnya sebanarnya. Username devira safitri membahas kehidupan Zahra, seorang
perempuan penyandang autisme tanpa diketahui tingkat keparahannya (level of
severity) kelahiran 28 Agustus 2002, bersama ibunya, berjuang untuk
membagikan paham autisme dan inklusifitas dalam berbagai tindakan positif, seperti
mengajarkan pada kehidupan sehari-hari pribadi Zahra, sekolah inklusi yang
sangat membantu di Depok, Jawa Barat maupun tindakan-tindakan yang lain seperti
latihan piano, gymnastics di salah satu tempat terkenal, maupun latihan
berbicara dengan echolalia yang minimal (mengulang-ulang kata dari lawan
bicara). Terakhir, Zafar Autism Journey, sedikit trivia, nama blog ini
terbentuk karena username Instagram ini. Zafar adalah individu laki-laki level
3 autisme yang sama sekali non-verbal tanpa identitas tanggal lahir karena
privasi. Setiap harinya, dia melakukan sesuatu yang berulang-ulang seperti bermain
ayunan maupun diet terstruktur. Penulis tidak sempat untuk menjelajah lebih
dalam karena mayoritas dari isi akunnya adalah jualan semua (tidak bermaksud
untuk mengulik yak karena setiap privasi individu disabilitas, termasuk autisme,
dilindungi oleh pribadi masing-masing dan undang-undang).
| Praktisi psikolog Yakkum, Indriasari Oktaviani, sedang mempresentasikan materinya di SMA Negeri 1 Seyegan Sleman Yogyakarta. Sumber pribadi. |
Maka dari inilah, kultur autisme
di Indonesia akan semakin berkembang di setiap waktunya. Sebagai penutup, menurut
praktisi psikolog yayasan Yakkum, Ibu Indriasari Oktaviani, tren autisme di
Indonesia akan semakin meningkat, walaupun penyebab dari autisme sendiri itu tidak
akan sama seperti di zaman dulu yang mengandalkan dari teori ICD maupun DSM
saja, namun pola asuh dari orang tua lah yang menjadi kunci. Kesiapan terhadap
tren meningkatnya autisme inilah yang harus diantisipasi oleh orang tua maupun
para masyarakat Indonesia keseluruhan. Beliau juga berpesan bahwa orang tua
dengan generasi milenial maupun generasi Z harus menyiapkan mental sekuat
mungkin jika nantinya anak akan kena autisme dengan sendirinya. Karena pada
kenyataanya, generasi inilah yang biasanya abai dalam pengenalan konsep
pengendalian emosi diri sendiri maupun anak penyandang autisme itu sendiri.
Banyak orang maupun masyarakat pada generasi inilah yang masih belum bisa
menerima dirinya sendiri secara penuh keyakinan. Maka dari itulah, perlunya kesadaran
dari masyarakat untuk mengulik lebih jauh terhadap autisme yang semakin merebak
dengan penegakkan diagnosa yang baru ini. Support system antar masyarakat juga
perlu diperhatikan, karena dalam kenyataannya masih banyak masyarakat umum yang
abai terhadap isu penyandang autisme anak maupun dewasa.
Cukup sekian, semoga bermanfaat. Sekali lagi, tulisan blog ini tidak
akan diterjemahkan ke bahasa Inggris karena sebagai penyadaran diri terhadap masyarakat
Indonesia terhadap autisme yang semakin memperihatinkan dan terpinggirkan
karena support system yang minim.