Autisme dan Kejang: Kenapa umum terjadi? (Non-exhausted Lists)

Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipiscing elit. Quisque faucibus ex sapien vitae pellentesque sem placerat. In id cursus mi pretium tellus duis convallis. Tempus leo eu aenean sed diam urna tempor. Pulvinar vivamus fringilla lacus nec metus bibendum egestas. Iaculis massa nisl malesuada lacinia integer nunc posuere. Ut hendrerit semper vel class aptent taciti sociosqu. Ad litora torquent per conubia nostra inceptos himenaeos.


Autisme dan epilepsi maupun kejang di Indonesia terkadang tidak bisa dipisahkan. Aku ceritain dulu buat fakta lapangan yang ada. Kejadian nyata selama aku sebagai autism advocate di desa menemukan bahwa 6 dari 9 orang (67%) dari yang kutemukan penderita autisme ringan hingga parah mengalami gejala kejang sesekali bahkan beberapa kali semasa hidupnya. Ambil saja 4 contoh pasien. Inisial V, autisme level 3, dia seharinya mengonsumsi asam valproate sirup 5-10 mg setiap harinya tergantung kondisi cuaca apakah kondisi panas atau hujan. Kedua, inisial Y, autisme level 3, dia mengonsumsi divalproex sodium 250mg per hari. Kemudian saya, autisme level 1, mengonsumsi divalproex sodium 500mg seminggu, sedangkan insial M, autisme level 1, dia mengonsumsi phenytoin 100mg dalam bentuk kapsul setiap harinya. Menurut inisial M dan V, setiap tes EEG pasti ada aja detakan kejang di setiap detiknya secara abnormal. Mereka rutin kontrol EEG setiap 6 bulan di fasilitas kesehatan yang berbeda. Apakah autisme dan kejang di Indonesia itu adalah hal yang lumrah terjadi?

Untuk menjawab itu, telisik sedikit terkait apa itu kejang. (definition)

Nyatanya di Indonesia, tidak semua autisme itu kena serangan kejang di kesehariannya. Hanya terkadang, kejang ini memang bagi saya membuat terganggu pada suatu objek tertentu misal sebuah sorot lampu maupun keadaaan malam yang penuh cahaya maupun lampu strobo sembarangan juga pengaruh bagi aku.